Rabu, 27 April 2011

Berburu “Seven Summits” di Nusantara

Berburu “Seven Summits” di Nusantara

Pegunungan adalah tempat paling kuat di Bumi,
dan menuntut penghormatan tertinggi
(Erik Weihenmayer)

Nama “Seven Summits” telah lama dikenal dalam dunia pendakian gunung di dunia dan disebut-sebut sebagai sebuah grand slam penjelajahan yang sebenarnya. Petualangan ekstrem ini merupakan pendakian puncak-puncak tertinggi di setiap benua.

Ketika Mount Everest sebagai puncak tertinggi di dunia telah banyak didaki, orang bertanya-tanya pendakian spektakuler apalagi yang dapat dibuat oleh umat manusia dalam menantang keperkasaan alam. Maka lahirlah ekspedisi-ekspedisi dari berbagai negara termasuk Indonesia yang terobsesi dengan grand slam penjelajahan ini.

Sekian puncak yang wajib didaki adalah Mc Kinley (6.194 m) di Amerika Utara, Aconcagua (6.960 m) di Amerika Selatan, Kilimanjaro (5.895 m) di Afrika, El’brus (5.642 m) di Eropa, Vinson Massif (4.897 m) di Antartika, dan tentunya Everest (8.848 m) di Asia. Sedangkan satu lagi puncak yang dianggap mewakili lempengan Australia-Oseania mempunyai beberapa pilihan yang sama mendebarkan, yaitu Cartenz Pyramid di Pulau Papua, Mount Cook di Selandia Baru, atau Kosclusko di Australia.

“Seven summits” nusantara
Bagi para pecinta kegiatan mendaki gunung amatir dan wisatawan, mimpi “Seven Summits” ini tentunya cukup mustahil untuk dilaksanakan mengingat diperlukan skill, persiapan dan biaya yang maksimum. Bahkan walaupun semuanya telah terpenuhi, faktor alam seringkali menjadi penentu keberhasilan. Sejarah mencatat banyak pendaki profesional yang gagal bahkan gugur di medan perjuangannya yang terakhir di gunung-gunung tersebut.

Namun pendaki amatir dan wisatawan di Indonesia yang tetap mempunyai obsesi “Seven Summits” dapat mewujudkan keinginannya tersebut dengan skala yang lebih kecil, yaitu dalam kawasan Kepulauan Nusantara tercinta ini. Dengan sedikit romantisme, kita dapat mempersatukan seluruh kepulauan ini dengan mengoleksi puncak-puncak tertinggi di pulau-pulau di Nusantara.

Beberapa gunung tujuan misalnya Semeru di Jawa, Kerinci di Sumatera, Latimojong di Sulawesi, Binaiya di Maluku, Rinjani di Nusa Tenggara, Kinabalu di Kalimantan, dan tentunya Carstenz Pyramid di Papua. Ketujuh puncak itu memiliki tingkat kesulitan yang tidak terlalu tinggi –bahkan beberapa dapat dinaiki tanpa memerlukan skill dan pengalaman yang terlampau tinggi. Tentunya asalkan memiliki kesehatan dan kebugaran yang cukup prima untuk mendaki gunung daerah tropis. Bahkan Kinabalu di Malaysia sudah dikelola sedemikian rupa sehingga menjamin suatu perjalanan pendakian yang menyenangkan.

Kecuali Carstenz Pyramid, rata-rata keenam puncak memiliki jalur yang tipikal. Suasana tropis dan jalur utama pendakian cukup memadai bagi wisatawan yang ingin mendakinya. Yang perlu diperhatikan adalah kecermatan dalam memprediksi kondisi alam dan jalan setapak yang dilalui. Pada jalur pendakian di Latimojong, misalnya, vegetasi lumut masih banyak dijumpai merundung jalur pendakian, sehingga tak sejelas jalur pendakian di Semeru. Juga kerimbunan dan kecuraman jalur pendakian di Kerinci tentunya kontras berbeda dengan jalur pendakian umumnya di Rinjani yang gersang (jalur Sembalun).

Perburuan puncak
Keenam puncak selain Carstenz Pyramid di Papua adalah puncak-puncak yang lebih memungkinkan dan mudah untuk didaki. Mari kita telusuri persiapan-persiapan yang diperlukan untuk mencapainya. Sedangkan pendakian Carstenz Pyramid dengan salju abadinya lebih memerlukan persiapan dan skill dibandingkan yang lain sehingga sangat cocok untuk dijadikan closing climbing dengan pembahasan yang lebih memadai di lain kesempatan.

Persiapan yang diperlukan peminat adalah terlebih dahulu mengumpulkan informasi-informasi yang diperlukan baik dari literatur atau rekomendasi sejawat. Sebagai contoh Kinabalu merupakan taman nasional yang dikelola secara profesionnal dan mempunyai aturan cukup ketat yang harus diikuti. Perjalanan ke sana harus didukung keuangan yang memadai. Jalur pendakian normal memakan waktu 2–3 hari untuk sampai ke puncak.

Perbekalan menjadi hal yang kritis selama pendakian. Pendaki sedapat mungkin mempunyai informasi yang akurat mengenai jalur pendakian terutama tempat–tempat yang tersedia sumber air alami. Terkadang sumber air alami (bukan curahan hujan) yang tersedia sangat jauh dari base camp sehingga amat bijak apabila dalam logistik kita selalu ada persediaaan air yang cukup. Namun hal-hal tersebut kiranya tidak perlu dirisaukan di Kinabalu karena telah tersedia akomodasi yang memadai.

Tak kalah pentingnya adalah memilih rekan satu tim yang nantinya akan bahu-membahu dalam pendakian agar tercipta sebuah perjalanan yang menyenangkan. Terlebih lagi apabila perjalanan akan memakan waktu yang lama karena jauhnya tempat yang dituju. Bila diperlukan di Rinjani dan Kinabalu selalu tersedia porter atau guide yang siap membantu pendakian dengan upah yang wajar.

Adalah sikap yang bijak untuk senantiasa ramah dan bersosialisaisi dengan penduduk di tempat mulainya pendakian. Akan sangat bermanfaat bila kita beristirahat terlebih dahulu di desa terakhir sebelum memulai pendakian. Di Kerinci, Rinjani, dan Kinabalu telah banyak tersedia pesanggrahan di kaki gunung bagi yang ingin beristirahat.

Banyak yang bisa digali dari sosialisasi dengan masyarakat sekitar kaki pegunungan selain persahabatan. Kita bisa mengumpulkan informasi yang diperlukan seperti sumber mata air, cerita-cerita legenda, kondisi alam serta flora fauna sekitar gunung. Dari pengalaman penulis, penduduk desa akan memberikan bantuan lebih dari yang sekedar diharapkan apabila kita dapat melakukan pendekatan yang tepat. Bahkan kerap kita tak dapat membayangkan bagaimana membalas kebaikan mereka kelak.

Pulang dengan selamat
Perlu disadari pendakian gunung bukanlah olahraga yang mudah. Selain dibutuhkan respek terhadap alam, juga diperlukan kearifan untuk mengukur kemampuan sendiri. Pendakian maraton beberapa gunung sekaligus dalam waktu berdekatan bukanlah hal yang bijak. Manusia adalah mahluk sosial yang senantiasa rindu kepada masyarakatnya. Ambisi yang tidak wajar hanya akan menumbuhkan sikap anti sosial, sesuatu yang sayangnya terkadang menjangkiti para pendaki.

Kondisi fisik yang tidak prima akan menjadi hambatan utama perburuan puncak. Kelelahan dan turunnya kondisi tubuh akan segera dirasakan. Daya tahan terhadap cuaca pun menjadi sangat rentan. Demikian pula kondisi psikis yang merindukan suasana sosial akan menjadikan perjalanan kurang menyenangkan karena perasaan ingin cepat pulang begitu mendominasi. Perasaan takabur karena merasa telah berpengalaman pun menjadi musuh yang tak kurang berbahaya.

Wisatawan dan penggemar olahraga mendaki gunung dapat menjadikan puncak-puncak pulau sebagai suatu perburuan yang menyenangkan dengan suasana kompetisi yang penuh persahabatan. Pada saat-saat mendekati puncak, tiada ada yang lebih indah selain bertemu dengan sesama pendaki lain. Itulah persahabatan yang sulit dilukiskan. Tanpa pernah bertemu atau menyapa, tiba-tiba saja senyuman dan sapaan begitu mudah terlontar. Jauh sekali dengan suasana perkotaaan yang hampa dari keramahan.

Kalangan penggiat kegiatan outdoor dan wisatawan penggemar olahraga mendaki gunung dapat merangkaikan petualangannya menjadi sebuah bunga rampai perjalanan yang menebarkan wangi semangat keindonesiaan yang kental. Ibarat lembaran-lembaran khazanah berharga yang bila dirangkum akan menjelmakan sebuah magnum opus bagi penghayatnya. Sebuah tantangan petualangan yang sulit diabaikan begitu saja…

SUMBER : http://catros.wordpress.com/2007/06/14/berburu-%E2%80%9Cseven-summits%E2%80%9D-di-nusantara/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar